Saturday, February 14, 2015

PERUMAHAN ISLAMI APAKAH BISA DISEBUT SEBAGAI MASYARAKAT ISLAMI?

Oleh : Agus Trisa
Misalnya ada sebuah perumahan. Seluruh penghuninya adalah orang Islam. Masing-masing penghuninya sangat rajin mengerjakan salat subuh berjamaah, sangat sering mengadakan kajian-kajian rutin keislaman. Apakah yang seperti ini bisa disebut sebagai masyarakat Islam?
TANGGAPAN:
Perumahan Islami yang di sana diisi oleh kaum muslim yang rajin mengerjakan salat subuh berjamaah, rajin mengerjakan salat tahajud serta puasa-puasa sunah, sering diadakan pengajian-pengajian Islam, tafsir, hadis, dan sebagainya; tetap tidak bisa disebut sebagai sebuah masyarakat yang Islami. Sebab, hakikatnya itu hanyalah sebuah komunitas, bukan masyarakat. Komunitas itu adalah komunitas Islam. Karena itu, harus dibedakan antara masyarakat dengan komunitas; antara jamaatul muslimin dengan jamaah minal muslimin.
Contoh. Ada sebuah kapal pesiar yang dihuni 1.000 orang berangkat dari Tanjung Perak (Surabaya) menuju Tanjung Priok (Jakarta). Sekalipun dihuni oleh 1.000 orang, di tempat tertentu, dan memiliki tujuan yang sama (yaitu ke Tanjung Priok), tetap saja tidak bisa disebut sebagai sebuah masyarakat. Itu hanyalah sebuah komunitas. Yaitu komunitas orang yang memiliki tujuan ke Jakarta. Sekalipun mereka berada di tempat yang sama, dan memiliki tujuan yang sama, tetapi sesungguhnya tidak ada interaksi di dalam hubungan tiap-tiap penumpang kapal tersebut. Masing-masing orang memiliki urusan sendiri-sendiri yang tidak ada kepentingannya dengan 1.000 orang itu. Artinya, ada atau tidaknya interaksi di antara tiap-tiap orang di kapal itu, tidak akan dipersoalkan dan tidak akan menjadi permasalahan. Karena itulah, 1.000 orang yang ada di kapal itu tidak bisa disebut sebagai sebuah masyarakat, sekalipun mereka memiliki tujuan yang sama dan berada di tempat yang sama.
Tetapi berbeda halnya dengan contoh berikut. Ada sebuah desa yang dihuni oleh 100 orang. Seluruh penghuni desa itu diikat menggunakan pemikiran Islam, perasaan Islam, dan sistem aturan Islam. Karena itu, 100 orang di desa itu bisa disebut sebagai masyarakat Islam. Ciri yang menunjukkan bahwa itu masyarakat Islam adalah adanya atau diterapkannya kehidupan Islam di tengah-tengah mereka. Seluruh aspek-aspek pengaturan hidup dalam Islam diterapkan secara penuh. Ada pemimpin yang menerapkan sistem aturan atau syariah Islam yang ditaati oleh mereka yang dipimpinnya. Seluruh aturan Islam diterapkan, mulai dari aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah), aturan yang mengatur hubungan dengan diri sendiri (pakaian, makanan-minuman, dan akhlak), serta aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah dan uqubat).
Yang jadi pertanyaan : kenapa 100 orang di desa itu menerapkan aturan tertentu, sementara 1.000 orang yang ada di kapal itu tidak menerapkan aturan tertentu? Jawabannya adalah karena motif untuk berinteraksi. Pada kasus 100 orang di sebuah desa, terjadi interaksi antara satu orang dengan orang yang lain, yang menghasilkan sebuah kesepakatan yang kelak akan menjadi ikatan. Sementara 1.000 orang yang di kapal tersebut, tidak melakukan interaksi, karena itu tidak menghasilkan ikatan apa pun.
Interaksi yang dimaksud, interaksi seperti apa? Yaitu interaksi untuk menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi setiap individu. Ingat, setiap individu pasti memiliki persoalan-persoalan tertentu, baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik/biologis, maupun yang berkaitan dengan pemenuhan naluri (baik naluri mengkultuskan sesuatu, naluri seksual, maupun naluri mempertahankan eksistensi diri). Karena setiap orang (individu) terdorong untuk menyelesaikan persoalan dirinya, maka setiap individu itu pun mulai berinteraksi dengan individu lainnya, untuk membuat kesepakatan tentang bagaimana penyelesaiannya. Kesepakatan-kesepakatan inilah yang nantinya akan berwujud pemikiran tertentu, perasaan tertentu, dan sistem aturan tertentu.
Karena itulah, sebuah perumahan Islami sebagaimana disebutkan di atas, tetap tidak bisa disebut sebagai masyarakat Islam. Sebab, tidak terjadi interaksi di dalam hubungan-hubungan atau interaksi di antara personalnya. Tetapi kalau pun terjadi interaksi, intraksinya pun tidak utuh. Karena sistem aturan Islam yang diterapkan paling banter hanya sistem aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah) dan sistem aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (pakaian, makanan-minuman, dan akhlak). Sementara, sistem aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalat dan uqubat), tidak diterapkan. Tapi kalau pun aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya diterapkan, itu hanya sebatas pada aspek individu saja. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan sejenisnya. Namun sistem uqubat atau sistem sanksi tidak akan diterapkan di perumahan Islami tersebut. Karena itulah, di dalam perumahan Islami tersebut tidak akan diterapkan sistem potong tangan kepada pelaku pencurian, atau rajam bagi pezina, dan tidak akan diterapkan sistem pengaturan hidup yang lainnya. Apalagi, ketua RT atau ketua perumahan Islam itu tidak memiliki kekuasaan politik apa pun. Maka, tidak bisa disebut sebagai masyarakat Islam.
Jadi, harus dibedakan antara jamaatul muslimin (jamaah kaum muslim) dengan jamaah minal muslimin (jamaah dari kalangan kaum muslim). Jamaatul muslimin inilah yang saya sebut sebagai masyarakat Islam. Sedangkan masyarakat (jamaatul muslimin) yang saya maksud di sini adalah al-ummah, sebagaimana dalam Surah Ali Imran ayat 110, yaitu khairu ummah. Bukan masyarakat dalam arti komunitas atau al-ummah dalam arti jamaah minal muslimin sebagaimana dalam Surah Ali Imran ayat 104. Kasus perumahan Islami, dari sisi dzatnya masuk dalam kategori jamaah minal muslimin, bukan jamaatul muslimin.
Wallahu a’lam.

Friday, February 13, 2015

MAQASHID SYARI'AH HANYA BISA TERWUJUD DI DALAM DAULAH KHILAFAH

Oleh : Abulwafa Romli
MAQASHID SYARI'AH HANYA BISA TERWUJUD DI DALAM DAULAH KHILAFAH
Tulisan ini sengaja saya hadiahkan kepada para pejuang demokrasi yang tanpa ragu dan malu mengklaim bahwa maqashid syariah bisa terwujud didalam sistem pemerintahan demokrasi yg katanya berkeadilan dan menyejahterakan. Atau terbentuknya demokrasi berdasarkan prinsip maqashid syariah. Padahal sejatinya klaim mereka hanyalah sekedar klaim tanpa memiliki hujjah dan tanpa fakta/ realita sebagai pendukungnya.
LIMA MACAM MAQASHID SYARIAH
Setidaknya ada lima rumusan tentang Maqashid Syari'ah yang hanya bisa terwujud dalam sistem pemerintahan khilafah. Dan sulit (bahkan mustahil) terwujud dalam sistem demokrasi:
1. Melindungi agama (hifzhud dien). Bisa terwujud dgn menerapkan uqubat terhadap orang murtad dgn dipenggal lehernya, penghina Nabi Saw dan Alqur'an dgn dibunuh, dan penyebar aliran sesat seperti Ahmadiyah juga dgn dibunuh. Dimana semuanya setelah disuruh taubat dan kembali kpd (ajaran) agama yg benar.
2. Melindungi jiwa dan keselamatan fisik. Yaitu dgn menerapkan uqubat berupa qishash seperti pembunuh tanpa haq harus dibunuh atau dikenai diyat 100 ekor unta, dan uqubat jinayat seperti memotong jari dgn mepotong jari atau dikenai diat 10 ekor unta.
3. Melindungi kelangsungan keturunan. Yaitu dgn menerapkan uqubat berupa rajam terhadap pezina muhshan, dan jilid/ dera 100 x terhadap pezina ghairu muhshan, dan uqubat berupa qishash, diat atau takzir terhadap pelaku aborsi dan pembatasan kelahiran (KB).
4. Melindungi akal/ pikiran. Yaitu dgn menerapkan uqubat berupa jilid 80x atau takzir sampai hukum mati terhadap peminum khamer dan sejenisnya, dan para pengedarnya.
5. Melindungi harta benda. Yaitu dgn menerapkan uqubat berupa potong tangan atau takzir sampai hukum mati terhadap pencuri dan koruptor.
Semua jenis uqubat di atas diterangkan secara perinci dalam kitab Nizhamul Uqubat karya Syaikh Taqiyyuddin Annabhani dan kitab2 fikih karya ulama mujtahid lainnya. Maka lihatlah ke sana.
Dari penjelasan singkat di atas, dapat kita pahami bahwa maqashid syariah sangat sulit bahkan mustahil dapat terealisasi/ terwujud di dalam sistem demokrasi yang kafir bin syirik. Karena demokrasi tidak menerapkan sistem uqubat Islam seperti di atas.
Alih-alih menerapkan sistem uqubat, demokrasi justru menolak dan menghalangi bahkan menggugat penerapan sistem uqubat Islam. Oleh karna itu, siapa saja yg mau mewujudkan maqashid syariah di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka hendaklah ia turut serta dalam perjuangan menegakkan khilafah rosyidah.
SAATNYA CAMPAKKAN DEMOKRASI DAN TEGAKKAN KHILAFAH!
Anda setuju, tinggalkan jejak dan sebarluaskan!

Hadits Janji Rosululullah SAW Akan Kembalinya Khilafah Dhoif ?

PERKATAAN IMAM BUKHARI “FIIHI NAZHAR” MENGENAI SEORANG PERAWI HADITS TIDAK SELALU MELEMAHKAN HADITSNYA
Pendahuluan
Di kalangan para pejuang syariah dan Khilafah, sangat terkenal hadits yang menerangkan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jalan kenabian). Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت
“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17).
Hadits di atas walau statusnya oleh para ahli hadits dinilai antara shahih atau hasan, namun ada pihak yang berpandangan hadist itu lemah (dhaif). Mereka berhujjah bahwa salah satu perawi (periwayat) hadits yang bernama Habib bin Salim adalah perawi yang lemah, dengan alasan Imam Bukhari mengomentari Habib bin Salim dengan berkata, “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan).
Menurut mereka, inilah sebabnya Imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut, sehingga akibatnya “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.
Maksud Perkataan Imam Bukhari “Fiihi Nazhar”
Sebelum membahas perkataan Imam Bukhari “fiihi nazhar” untuk Habib bin Salim, perlu kiranya diketahui sekilas sanad hadits di atas, untuk mengetahui posisi Habib bin Salim dalam rantai periwayatan hadits tersebut dari Rasulullah SAW.
Sanad hadits di atas adalah sebagai berikut; Imam Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Dawud Al Thayalisi, dari Dawud bin Ibrahim Al Wasithi, dari Habib bin Salim, dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah bin Al Yaman, dari Rasulullah SAW. (Lihat Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430).
Jadi posisi Habib bin Salim adalah antara Dawud bin Ibrahim Al Wasithi dan Nu’man bin Basyir. Yang menjadi titik kritis adalah kredibilitas Habib bin Salim, dan apakah Habib bin Salim ini mendengar langsung hadits dari Nu’man bin Basyir atau tidak.
Memang benar bahwa Imam Bukhari pernah mengomentari Habib bin Salim dengan perkataannya “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Hal itu dikatakan oleh Imam Bukhari pada saat menceritakan biografi (tarjamah) Habib bin Salim dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir juz 2 halaman 318. Telah berkata Imam Bukhari (radhiyallahu ‘anhu) :
حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان، روى عنه أبو بشيروبشير بن ثابت ومحمد بن المنتشروخالد بن عرفطة وإبراهيم بن مهاجر، وهو كاتب النعمان، فيه نظر
“Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man, dan meriwayatkan [hadits] darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad bin Al Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah, dan Ibrahim bin Muhajir, dan dia [Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu dipertimbangkan.” (Imam Bukhari, At Tarikh Al Kabir, 2/318).
Mengenai perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) ini, sudah banyak ulama yang menafsirkannya. Secara umum, ungkapan tersebut memang berarti jarh (penilaian tidak kredibel) kepada seorang periwayat hadits, sehingga akibatnya dapat melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut.
Imam Al ‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarah Al Alfiyah :
فلان فيه نظر، وفلان سكتوا عنه: يقولهما البخاري فيمن تركوا حديثه
“[Perkataan] “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fulan sakatuu ‘anhu” (si Fulan telah didiamkan/tak dikomentari oleh para ulama), merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh Imam Bukhari mengenai periwayat hadits yang haditsnya ditinggalkan.” (Imam ‘Iraqi, Syarah Al Alfiyah, Juz 2/11).
Imam Adz Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya MizanuI I’tidal :
قوله: فيه نظر، وفي حديثه نظر، لا يقوله البخاري إلا فيمن يتهمه غالبا
“Perkataan dia (Imam Bukhari) : “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fii hadiitsihi nazhar” (haditsnya perlu dipertimbangkan), tidaklah diucapkan oleh Imam Bukhari kecuali mengenai orang-orang yang dia tuduh [tidak kredibel] pada galibnya.” (Imam Adz Dzahabi, MizanuI I’tidal, 1/3-4).
Kedua kutipan di atas menunjukkan kaidah umum dari perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), yang memang menunjukkan kelemahan kredibilitas periwayat hadits. Namun dalam kasus Habib bin Salim, perkataan Imam Bukhari tersebut bukanlah merupakan jarh yang kemudian melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Dikarenakan terdapat dua qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya.
Dua indikasi tersebut adalah; Pertama, Imam Bukhari sendiri menilai shahih hadits yang di dalamnya ada periwayat Habib bin Salim. Kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) bisa jadi dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya.
Indikasi pertama, telah ditunjukkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya Al ‘Ilal Al Kabir (1/33) bahwa Imam Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada Imam Bukhari mengenai suatu hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir bahwa Nabi SAW dalam dua shalat Ied dan shalat Jum’at telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Ataaka Hadiistul Ghaasiyah, dan bisa jadi keduanya (Ied dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi SAW membaca kedua surat itu. Maka berkata Imam Bukhari,”Itu hadits shahih.’ (Arab : huwa hadiits shahiih). (Lihat Imam Tirmidzi, Al ‘Ilal Al Kabir,1/33. Matan hadits secara lengkap dikemukakan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan At Tirmidzi, Juz 5 hlm. 243).
Ini jelas menunjukkan Imam Bukhari sendiri telah menilai shahih hadits yang perawinya dinilainya sebagai “fihi nazhar“. Fakta ini menunjukkan, ketika Imam Bukhari menilai seorang perawi dengan mengucapkan “fihi nazhar“, tidaklah selalu berarti haditsnya otomatis lemah (dhaif) dan tak dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.
Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa Imam Bukhari tetap menshahihkan hadits yang perawinya dikomentarinya dengan “fiihi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah Ad Durais dalam kitabnya Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’ (Riyadh : Maktabah Ar Rusyd, tt) halaman 120, hal itu karena Imam Bukhari tidak sampai derajat yakin bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqa`) atau mendengar (as samaa’) hadits dari Nu’man bin Basyir. Imam Bukhari ragu (syakk) apakah Habib bin Salim pernah bertemu/mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir.
Ketidakyakinan Imam Bukhari itu tercermin dari deskripsi biografi Habib bin Salim yang ditulis oleh Imam Bukhari sendiri, yaitu menggunakan perkataan عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man). Sebagaimana sudah dikutip sebelumnya, Imam Bukhari berkata :
حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان
“Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man… (At Tarikh Al Kabir, 2/318).
Kalimat عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man) adalah kalimat yang tidak jelas (ghairu sharih), yang berbeda dengan kebiasaan Imam Bukhari ketika dia meyakini seorang periwayat hadits mendengar dari periwayat sebelumnya. Jika Imam Bukhari yakin Habib bin Salim mendengar dari periwayat sebelumnya (Nu’man bin Basyir), niscaya kalimat yang akan digunakan adalah sami’a al nu’maan (dia telah mendengar Nu’man), bukan ‘an al Nu’man. Terlebih lagi bahwa dalam kitab Tahdziibul Kamaal (2/374) disebutkan bahwa Habib bin Salim telah memasukkan periwayat lain antara dirinya dengan Nu’man bin Basyir. Inilah kiranya yang membuat Imam Bukhari berada dalam keraguan mengenai Habib bin Salim. (Khalid Manshur Abdullah Ad Durais, Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121).
Namun ketidakyakinan Imam Bukhari ini tak berarti Imam Bukhari secara mutlak tidak mempercayai Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi Imam Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim, akan dapat disimpulkan bahwa Imam Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghaalib) bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqa`) atau mendengar (samaa’) dari Nu’man bin Basyir, walau tak sampai derajat yakin.
Ada dua alasan untuk itu; pertama, Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah maula (bekas budak). Artinya dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu Nu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi sangat mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua, Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah penulis atau sekretaris Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis akan sering bertemu atau mendengar perkataan dari atasannya. Maka sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan Imam Bukhari tetap menilai shahih hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. (Khalid Manshur Abdullah Ad Durais, Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121).
Ini adalah indikasi pertama yang membuktikan tetapnya kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya, yakni adanya penilaian shahih dari Imam Bukhari terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim.
Indikasi kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” bisa jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak.
Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar” namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Habib bin Salim tidaklah mengapa (laa ba`sa bihi). Menurut Ibnu ‘Adi, tak ada matan-matan hadits Habib bin Salim yang munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah), melainkan telah terjadi idhtirab (kerancuan) pada sanad-sanad hadits yang diriwayatkan darinya. Tetapi Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hiban menilai Habib bin Salim tsiqah. (Lihat Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8).
Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syu’aib Al Arna`uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lamin Nubala` karya Imam Dzahabi pada Juz 12 halaman 439 (Beirut : Mu`assah Ar Risalah, cetakan IV, tahun 1986). Di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, perawi bernama Tamaam bin Najiih. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Tamaam bin Najiih dianggap tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’iin. Imam Abu Dawud dan Tirmidzi juga tidak meninggalkan haditsnya.
Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud As Shan’ani. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Imam Yahya bin Ma’iin menganggapnya tsiqah. Imam Ibnu Hiban memasukkan namanya dalam kitabnya At Tsiqaat. Imam An Nasa`i juga meriwayatkan hadits darinya.
Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid Al Hammani. Imam Bukhari menilainya “fii hadiitsihi nazhar” (haditsnya perlu dipertimbangkan). Tetapi Imam Nasa`i berkata, dia tsiqah. Ibnu ‘Adi mengatakan,”Aku tidak melihat haditsnya munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia riwayatkan. Dan seterusnya banyak sekali.
Jadi, penilaian Imam Bukhari “fiihi nazhar” kepada seorang perawi, tidaklah berarti hadits yang diriwayatkannya secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Karena bisa jadi para Ahli Hadits lainnya menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya, yang menghimpun karakter ‘adil (taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).
Kesimpulan
Hadits akan datangnya kembali Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah derajatnya berkisar antara shahih dan hasan. Penilaian sementara pihak bahwa hadits itu dhaif karena Imam Bukhari menilai Habib bin Salim dengan sebutan “fiihi nazhar”, adalah tidak tepat. Karena perkataan imam Bukhari “fiihi nazhar” mengenai seorang perawi hadits, tidaklah selalu melemahkan hadits yang diriwayatkannya.
Maka dari itu, penilaian bahwa hadits akan datangnya Khilafah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah adalah hadits dhaif, sungguh sangat gegabah dan tidak berlandaskan ilmu yang mendalam. Landasannya lebih kepada hawa nafsu yang condong kepada kebatilan dan kesesatan, yaitu memberi legitimasi palsu kepada sistem sekular saat ini yang dipaksakan secara kejam kepada umat Islam. Wallahu a‘lam bi al shawab. (04/02/2014).
Copas By: KH. M. Shiddiq Al-Jawi, anggota Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI; Dosen Ulumul Hadits dan Ushul Fiqih di STEI Hamfara, Jogjakarta; Pimpinan PP Hamfara Jogjakarta.

Sejarah Khilafah berdarah-darah Benarkah??

Oleh : Choirul Anam
Banyak orang yang mengatakan bahwa pihak yang menyuarakan Khilafah tak mengerti sejarah. Kemudian dikatakan bahwa sejarah Khilafah itu berdarah-darah. Dalam Khilafah itu isinya hanya perang dan perang, konflik dan konflik, pembunuhan dan pembunuhan. Bahkan, para Khalifah yang disebut sebagai Khulafa’ur Rosyidin saja wafat terbunuh.
Benarkah semua itu?
Untuk membahas ini, agar pembahasan tidak subyektif, maka akan ditunjukkan pernyataan para sejarawan. Tentu saja para sejarawan sendiri ada yang obyektif dan ada yang subyektif. Sebab para sejarawan sendiri juga memiliki kepentingan dan sudut pandang tertentu dalam melihat suatu fenomena. Namun, biasanya para sejarawan yang berbeda dengan maisntream lebih obyektif, daripada mereka yang mengikuti mainstream. Sebab, para pengikut maisntream biasanya dibayar dan dikontrol oleh kekuasaan.
*****
Benarkah dalam Khilafah itu tidak ada keamanan dan kesejahteraan, serta sejarah Khilafah itu berdarah-darah? Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, hal 151 menyampaikan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, dimana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”
Apakah masa Khilafah adalah masa yang suram ataukah masa dengan kemajuan yang mengagumkan? Durant menyampaikan: “Kegigihan dan kerja keras mereka (para Khalifah) menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad”.
Apakah Khilafah itu hanya sibuk dalam perang sehingga tidak sempat mengembangkan saians dan tenologi serta perdaban? Tentang ini, Paul Kennedy menulis dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, ”Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, rakyatnya terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum Muslim selalu berada di depan.”
Terkait dengan non-Muslim dalam Khilafah, Durant dalam The Story of Civilization, menyampaikan: “Orang-orang Non-muslim, seiring dengan perjalanan waktu telah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa mereka, padahal mereka bukan bangsa Arab, puncaknya dengan ketundukkan mereka kepada syari’at al-Quran dan memeluk Islam.
Padahal, Belanda tidak mampu lagi mempertahankan tonggak kekuasaannya setelah berhasil selama seribu tahun. Begitu juga pasukan Romawi terpaksa meninggalkan tanah air pemberian Tuhan dan tidak dapat lagi mempertahankannya, termasuk di negeri-negeri tempat munculnya sekte Kristen di luar sekte resmi negara Byzantium.”
Apakah masyarakat dipaksa dan diintimidasi dalam urusan agama, Durant menuturkan: “Di seluruh daerah tersebut telah tersebar luas aqidah serta tatacara ibadah agama Islam. Penduduk daerah itu telah beriman kepada agama baru dan mereka semua ikhlas menerimanya. Mereka berpegang teguh kepada akidahnya dengan ikhlas dan serius, hingga dalam waktu singkat mereka telah melupakan Tuhan mereka yang lama.
Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari China, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol.
Islam pun telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupan-nya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan ber¬pegang teguh kepadanya pada saat ini (1926) sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka”.
Sementara tentang posisi non Muslim dalam bidang sains dan teknologi, disampaikan oleh Dr. William Draper, seorang sejarawan American English dan seorang saintis menyampaikan “During the period of the Caliphs the learned men of the Christians and the Jews were not only held in great esteem but were appointed to posts of great responsibility, and were promoted to the high ranking job in the government….He (Caliph Haroon Rasheed) never considered to which country a learned person belonged nor his faith and belief, but only his excellence in the field of learning.” (Selama masa kekhilafahan, orang-orang terdidik dari kalangan Kristen dan Yahudi, tidak hanya mendapatkan penghargaan besar, tetapi juga ditunjuk untuk menempati pos-pos dengan tanggung jawab yang besar dan dipromosikan untuk menempati posisi pekerjaan kelas atas dalam pemerintahan… Dia (Khalifah Harun Arrosyid) tidak pernah melihat asal kebangsaan mereka, juga keimanan dan kepercayaan mereka, tetapi hanya melihat keistimewaan mereka dalam bidang keilmuan).
Apakah Khilafah tersebar luas itu hanya semata-mata karena penaklukan dengan pedang dan peperangan? Mari kita simak penjelasan Henry S. Lucas dalam bukunya yang berjudul Sejarah Peradaban Barat: “Orang-orang Barat sering keliru memahami sifat-sifat penaklukan yang dilakukan orang-orang Islam. Mereka menyangka bahwa keberhasilan aksi-aksi militer itu karena prajurit-prajurit Islam melakukan keganasan untuk menakut-nakuti musuh. Persangkaan mereka (orang-orang Barat itu) bahwa orang-orang Islam memaksakan dua pilihan kepada pihak yang ditaklukkan: Alquran atau pedang. Yang benar adalah bahwa orang-orang Islam tidak pernah membasmi orang-orang Kristen. Mereka hanya memungut upeti (maksudnya jizyah) dari kaum Kristen sebagai kompensasi atas kemuliaan yang diterima kaum Kristen di bawah kekuasaan Islam.” Dalam bukunya tersebut, Henry Lucas tidak pernah menyebut kekuasaan Islam sebagai kerajaan, tetapi kekhalifahan. Misalnya: kekhalifahan Umayyah dan kekhalifahan Abbasiyah.
Apakah Khilafah itu hanya mesin perang? Kennedy mengungkapkan dalam dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, bahwa Khilafah (khususnya Khilafah Utsmaniyah) bukan sekedar mesin perang sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang. Dia menyampakan: “Imperium Utsmani lebih dari sekadar mesin militer; ia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dibandingkan dengan yang pernah dimiliki oleh Imperium Romawi…”
Kehebatan dan keagungan Khilafah Islam bukan hanya pada masa Turki Utsmani, tetapi juga pada masa-masa Kekhilafahan sebelumnya, baik Abbasiyah, Umayah dan tentu saja masa Khulafa’ur Rosyidin, yaitu kira-kira sekitar 1200 tahun. Hal ini disampaikan oleh Carleton S, seorangh Chairman and Chief Executive Officer Hewlett-Packard Company berkomentar terhadap peradaban Islam sejak tahun 800-1600 masehi. Dia menyatakan: “Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun, dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku bangsa. Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.” Hal ini diambil dari ceramahnya tanggal 26 September 2001 dengan judul Technology, Business, and our Way of Life: What Next?
Maka tak mengherankan jika para sejarawan, tidak saja menilai Islam sebagai sebuah agama, tetapi juga sebagai sebuah negara dan budaya yang sangat mengagumkan. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Philip K. Hitti dalam History of Arab. Dia mengatakan, “The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Istilah Islam dapat digunakan dalam tiga hal: Pada awalnya Islam adalah agama, lalu Islam menjadi negara, dan terakhir sebagai sebuah budaya).
Islam dengan Khilafahnya berhasil menyatukan umat manusia dalam kesatuan yang hakiki. Perasaan rasial benar-benar hilang dalam naungan Islam dan Khilafahnya. Hal ini diungkapkan oleh Arnold J. Toynbee, sejarawan Inggris dalam The Rise and Fall of Civilizations ‘A Study of History’ menyimpulkan bahwa “The extinction of race consciousness as between Muslims is one of the outstanding achievements of Islam, and in the contemporary world there is, as it happens, a crying need for the propagation of this Islamic virtue.” (Hilangnya perasaan ras diantara Muslim adalah capaian Islam yang sangat istimewa. Dan dalam dunia kontemporer ini sungguh sangat membutuhkan penyebaran ajaran-ajaran Islam ini).
Itulah gambaran tentang Islam dan Khilafah dari para sejarawan. Apakah Khilafah itu berdarah-darah dan mengerikan? Kita dapat menjawab sendiri.
*****
Tentu saja dalam beberapa waktu tertentu pada masa kekhilafahan memang ada masalah, misalnya konflik dan pembunuhan, tetapi melakukan generalisasi suatu fenomena bukan merupakan tindakan ilmiah. Adanya konflik, rebutan keuasaan, dan kasus pembunuhan itu sebenarnya hanya terjadi pada waktu tertentu dan hanya dilakukan oleh oknum tertentu. Sehingga tidak bisa digeneralisasi bahwa Khilafah sepanjang sejarahnya seperti itu. Terus terang, kasus-kasus seperti ini biasanya menjadi catatan penting para sejarawan Muslim, misalnya Imam Ath Thabary atau Imam Ibnu Katsir.
Kita memang tidak bisa mengabaikan adanya penyimpangan seperti ini. Namun, yang patut disayangkan, kita sering keliru dalam membaca kitab-kitab para ulama tersebut, karena kebodohan dan ketidak-cermatan kita. Saat para ulama menjelaskan suatu kasus untuk dijadikan pelajaran, tetapi karena kedangkalan ilmu kita, kita menyimpulkan seakan-akan kasus itu terjadi sepanjang sejarah Khilafah Islam.
Jika bicara kasus, dalam demokrasi juga terjadi. Dalam demokrasi juga terjadi konflik, peperangan, pembantaian dan pembunuhan. Apakah dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah demokrasi isisnya hanya peperangan dan pembunuhan?
Bahkan jika kita mau melihat secara jujur, terjadinya konflik, peperangan dan pembunuhan serta rebutan kekuasaan, dalam demokrasi jauh lebih mengerikan. Dr. Yusuf Qardhawi dalam Umat Islam Menyongsong Abad 21, mencatat bahwa semenjak keruntuhan Khilafah, terjadi peperangan besar dengan korban manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang Dunia I tercatat korban meninggal sekitar 9 juta orang. Sedangkan Perang Dunia II menelan 61 juta jiwa. Jumlah tersebut dihitung hanya dari 6 negara. Pada masa demokrasi ini juga, bom atom telah dibuat dan dijatuhkan pada suatu kota dan membunuh ratusan ribu manusia. Sedangkan korban pembunuhan yang dilakukan oleh berbagai pemerintahan selama abad 20 saja sekitar 170 juta orang. Perang Irak dan Afganistan yang dilakukan oleh Soko Gurunya demokrasi (Amerika) telah membunuh jutaan orang. Itu belum termasuk yang cacat dan meninggal karena dampak peperangan.
Dr Qardhawi menyimpulkan bahwa korban perang ganas pada abad 20 dan 21 (pada zaman demokrasi) lebih banyak dibanding korban dari mulai awal kehidupan hingga abad ke 19. Padahal Khilafah itu hanya dari abad 7 hingga awal abad 20. Sementara pada abad tersebut terdapat banyak peradaban yang suka membantai dan perang seperti Peradaban Barat. Jadi, korban akibat Khilafah (karena penyimpangan beberapa orang), tidak ada apa-apanya dibanding korban akibat kebiadaban manusia dalam sistem demokrasi.
Jadi, siapa bilang dalam demokrasi itu tidak ada perang dan konflik. Dalam demokrasi peperangan dan konflik itu sangat mengerikan, karena didorong nafsu untuk berkuasa dan nafsu untuk mendapatkan kenikmatan sensasi jasadiah.
Tapi, sayangnya konflik dan peperangan dalam demokrasi itu seperti gajah di depan pelupuk mata. Bagi mereka “semut konflik” yang terjadi pada masa Khilafah itu lebih tampak dan lebih seksi dibanding “gajah konflik” pada masa demokrasi..
Wallahu a’lam.

DEMOKRASI, ASLI INDONESIA ATAU PRODUK IMPOR

Oleh : Choirul Anam
Sering sekali kita mendengar seseorang menolak syariah dan Khilafah, karena menurutnya, syariah dan Khilafah bukan asli Indonesia. Baginya, ideologi penopang syariah dan Khilafah adalah ideologi hasil import, bukan digali secara langsung dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah negara demokrasi dengan ideologi final yaitu Pancasila.
Di sini, kami ingin mengajak semua pihak untuk menjawab dengan jujur: benarkah demokrasi itu asli Indonesia atau produk import?.
Dengan memahami permasalahan ini secara jelas, akan mudah bagi kita untuk menilai konsistensi argeumen seseorang dalam menolak syariah dan Khilafah. Jika memang demokrasi itu asli Indonesia, maka menolak syariah dan Khilafah dengan alasan produk import, maka penolakan itu dapat dinilai konsisten. Namun, jika ternyata demokrasi juga produk import, sementara seseorang menolak syariah dan Khilafah karena dianggapnya produk import, maka pernyataan jelas layak dipertanyakan konsistensinya.
*****
Dengan membaca teks-teks ilmu politik secara sekilas saja, maka kita akan langsung tahu sejarah demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) yang artinya kekuasaan rakyat. Demokrasi tersusun dari dua suku kata, yaitu δῆμος (dêmos) yang artinya rakyat dan κράτος (kratos) yang artinya kekuatan atau kekuasaan. Demokrasi dipercayai muncul pada abad ke-5 SM (sebelum masehi) untuk menyebut negara-kota Yunani Kuno, salah satunya Athena.
Dipercayai bahwa rakyat Athena telah mendirikan negara yang dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM dan dipimpin oleh Cleisthenes. Karena itu, Cleisthenes disebut sebagai "bapak demokrasi Athena”.
Demokrasi merupakan antonim (lawan kata) dari ἀριστοκρατία (aristocratie) yang artinya kekuasaan elit. Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun realitanya dalam demokrasi kekuasaan juga di tangan elit. Sistem politik di Athena Kuno, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas, namun tidak memberikan partisipasi politik kepada budak dan wanita dalam. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit, bukan rakyat.
Dalam dunia modern, Kata demokrasi (democracy) sendiri dipercayai mulai muncul lagi sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Dalam sejarah modern, Bangsa pertama yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Pada tahun 1789, pasca revolusi, Perancis mengadopsi deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Konvensi Nasional dipilih oleh semua warga negara pria pada tahun 1792. Tahun 1848, serangkaian revolusi pecah di Eropa setelah para pemimpin negara dihadapkan dengan tuntutan konstitusi liberal dan pemerintahan yang lebih demokratis dari rakyatnya.
Di Amerika Serikat, demokrasi mulai diadopsi tahun 1788. Pada tahun tersebut telah menetapkan bahwa pemerintahan dengan pilihan dan menjamin hak-hak dan kebebasan sipil. Namun, pada saat itu, hanya pemilik properti dan pria dewasa berkulit putih yang boleh memberi suara. Sedangkan budak Afrika, penduduk berkulit hitam bebas dan wanita tidak boleh memilih.
Gelombang demokrasi terjadi secara internasional pada abad ke-20 yang dipicu oleh perang, revolusi, dekolonisasi, dan religious and economic circumstances. Pada tahun 1920-an, demokrasi tumbuh subur tetapi terhambat Depresi Besar. Amerika Latin dan Asia langsung berubah ke sistem kekuasaan mutlak atau kediktatoran.
Pada tahun 1960, banyak negara yang menggunakan sistem demokrasi, meski sebagian besar penduduk dunia tinggal di negara yang melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan dipimpin oleh para diktator.
Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional.
Indonesia menurut Democracy Index yang dikeluarkan pada tahun 2011 termasuk negara demokrasi tidak sempurna, bersama 53 negara lainnya seperti Sri Lanka, Suriname, Taiwan, Thailand, Timor-Leste, Trinidad dan Tobago, Zambia. Yang termasuk negara demokrasi sempurna adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Australia, Austria, Belanda dan lain-lain.
Dengan melihat sejarah demokrasi, mari kita jawab secara jujur: Demokrasi itu asli Indonesia atau bukan?
*****
Jika kita masih mengatakan bahwa demokrasi adalah asli Indonesia, maka sebaiknya kita tidak perlu meneruskan membaca tulisan ini atau tulisan apapun. Orang seperti ini tidak perlu membaca apapun, karena bacaan apapun tak akan bermanfaat baginya.
Siapapun orang yang jujur dan konsisten pasti akan mengatakan bahwa demokrasi berasal dari barat, bukan asli Indonesia.
Apakah suatu masalah jika yang diterapkan di Indonesia bukan asli Indonesia? Tentu saja, tidak masalah. Sebab, hampir semua yang diterapkan di Indonesia memang bukan asli Indonesia. Yang terpenting bukan masalah asli atau bukan asli Indonesia, tetapi apakah sistem itu akan membawa kebaikan kepada rakyat atau tidak. Sekarang kita menghadapai problem yang lebih sulit lagi, benarkah demokrasi itu untuk kebaikan Indonesia dan untuk kepentingan rakyat?
Bisa jadi ada ribuan orang atau jutaan orang yang menjawab bahwa demokrasi adalah untuk kebaikan Indonesia. Pertanyaan berikutnya, benarkah? Demokrasi itu untuk kepentingan Indonesia atau negara-negara imprealis modern seperti Amerika?
Jangan-jangan kita hanya korban opini, yang memang sengaja di bangun oleh Amerika untuk mengusung demokrasi dan menguras sumber daya alam (SDA) kita. Jika kita berpikir bahwa demokrasi adalah untuk kepentingan kita, Amerika justru menjadikan demokrasi sebagai game dan tool untuk mengendalikan negara-negara ketiga, seperti Indonesia.
Ada baiknya kita mencermati pidato Goerge W. Bush pada Kamis 6/11/2003 di depan The National Endowment for Democracy yaitu pada ulang tahun badan itu yang keduapuluh, Bush menekankan pentingnya demokratisasi di negara-negara ketiga, terutama Timur Tengah. Menurutnya, selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di suatu kawasan, kawasan itu akan menjadi wilayah stagnan, pengekskpor kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan bagi Amerika serikat. Bush mengatakan “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” (Kompas, 6/11/2004).
Sebagai produk import, ternyata demokrasi adalah import yang paling berbahaya. Hal itu diungkapkan sendiri oleh ilmuan Amerika, William Blum, dalam bukunya America’s Deadliest Export Democracy: The Truth About US Foreign and Everythung Else (Demokrasi, Export Amerika Yang Paling Mematikan: Menyingkap Kebenaran Tentang Politik Luar Negeri AS dan Hal Lain).
Apakah Amerika adalah guru yang baik tentang demokrasi, berikut ini beberapa fakta tentang Amerika setelah Perang Dunia II yang diungkap oleh Blum: Amerika berupaya keras untuk menggulingkan lebih dari 50 pemerintahan luar negeri yang kebanyakn dipilih secara demokratis. Amerika secara kotor, ikut campur tangan dalam pemeilihan umum di lebih dari 30 negara. Amerika mencoba membunuh lebih dari 50 orang pemimpin negara-negara asing. Amerika telah mengebom orang-orang di lebih dari 30 negara, dan Amerika telah mencoba menekan gerakan rakyat atau nasionalis di 20 negara
Secara keseluruhan, sejak 1945 Amerika telah mencabut nyawa berjuta-juta orang, membuat jutaan orang lainnya hidup penuh dengan kepedihan dan penderitaan, dan bertanggung jawab terhadap penyiksaan yang dilakukan atas ribuan orang lainnya.
Namun Amerika tak peduli dengan respon dunia, sebab telah terpatri pada benak Amerika suatu kaidah: “oderint dum metuant (Biarkan mereka membeci selama mereka takut)”. Hal inilah yang diungkapkan oleh James Woolsey, mantan direktur CIA “Hanya rasa takut yang membangun rasa hormat kepada Amerika”.
******
Itulah sejarah dan fakta demokrasi. Itulah fakta negara Maha Guru Demokrasi, Amerika. Demokrasi bukan produk asli Indonesia, tetapi produk import. Namun bukan import yang bermanfaat bagi Indonesia, tetapi produk import yang mematikan negara-negara yang mengimport-nya, termasuk Indonesia.
Ini berbeda dengan syariah dan Khilafah. Syariah dan Khilafah pada awalnya memang di tanah Arab, tetapi bukan berasal dari Arab. Syariah dan Khilafah berasal dari Allah SWT untuk kebaikan umat manusia dan bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Bukankah Allah pencipta bumi ini? Bukankah Allah pencipta Indonesia dan segala hal yang ada di Indonesia? Bagaimana bisa kita katakan bahwa syariah dan Khilafah tak layak untuk Indonesia karena bukan asli Indonesia?
Tidakkah kita malu karena menolak syariah dan Khilafah dengan alasan tidak asli Indonesia, sementara kita membusungkan dada menjadi propaganda demokrasi yang sama sekali bukan asli Indonesia?
Wallahu a’lam.