Saturday, February 14, 2015

PERUMAHAN ISLAMI APAKAH BISA DISEBUT SEBAGAI MASYARAKAT ISLAMI?

Oleh : Agus Trisa
Misalnya ada sebuah perumahan. Seluruh penghuninya adalah orang Islam. Masing-masing penghuninya sangat rajin mengerjakan salat subuh berjamaah, sangat sering mengadakan kajian-kajian rutin keislaman. Apakah yang seperti ini bisa disebut sebagai masyarakat Islam?
TANGGAPAN:
Perumahan Islami yang di sana diisi oleh kaum muslim yang rajin mengerjakan salat subuh berjamaah, rajin mengerjakan salat tahajud serta puasa-puasa sunah, sering diadakan pengajian-pengajian Islam, tafsir, hadis, dan sebagainya; tetap tidak bisa disebut sebagai sebuah masyarakat yang Islami. Sebab, hakikatnya itu hanyalah sebuah komunitas, bukan masyarakat. Komunitas itu adalah komunitas Islam. Karena itu, harus dibedakan antara masyarakat dengan komunitas; antara jamaatul muslimin dengan jamaah minal muslimin.
Contoh. Ada sebuah kapal pesiar yang dihuni 1.000 orang berangkat dari Tanjung Perak (Surabaya) menuju Tanjung Priok (Jakarta). Sekalipun dihuni oleh 1.000 orang, di tempat tertentu, dan memiliki tujuan yang sama (yaitu ke Tanjung Priok), tetap saja tidak bisa disebut sebagai sebuah masyarakat. Itu hanyalah sebuah komunitas. Yaitu komunitas orang yang memiliki tujuan ke Jakarta. Sekalipun mereka berada di tempat yang sama, dan memiliki tujuan yang sama, tetapi sesungguhnya tidak ada interaksi di dalam hubungan tiap-tiap penumpang kapal tersebut. Masing-masing orang memiliki urusan sendiri-sendiri yang tidak ada kepentingannya dengan 1.000 orang itu. Artinya, ada atau tidaknya interaksi di antara tiap-tiap orang di kapal itu, tidak akan dipersoalkan dan tidak akan menjadi permasalahan. Karena itulah, 1.000 orang yang ada di kapal itu tidak bisa disebut sebagai sebuah masyarakat, sekalipun mereka memiliki tujuan yang sama dan berada di tempat yang sama.
Tetapi berbeda halnya dengan contoh berikut. Ada sebuah desa yang dihuni oleh 100 orang. Seluruh penghuni desa itu diikat menggunakan pemikiran Islam, perasaan Islam, dan sistem aturan Islam. Karena itu, 100 orang di desa itu bisa disebut sebagai masyarakat Islam. Ciri yang menunjukkan bahwa itu masyarakat Islam adalah adanya atau diterapkannya kehidupan Islam di tengah-tengah mereka. Seluruh aspek-aspek pengaturan hidup dalam Islam diterapkan secara penuh. Ada pemimpin yang menerapkan sistem aturan atau syariah Islam yang ditaati oleh mereka yang dipimpinnya. Seluruh aturan Islam diterapkan, mulai dari aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah), aturan yang mengatur hubungan dengan diri sendiri (pakaian, makanan-minuman, dan akhlak), serta aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah dan uqubat).
Yang jadi pertanyaan : kenapa 100 orang di desa itu menerapkan aturan tertentu, sementara 1.000 orang yang ada di kapal itu tidak menerapkan aturan tertentu? Jawabannya adalah karena motif untuk berinteraksi. Pada kasus 100 orang di sebuah desa, terjadi interaksi antara satu orang dengan orang yang lain, yang menghasilkan sebuah kesepakatan yang kelak akan menjadi ikatan. Sementara 1.000 orang yang di kapal tersebut, tidak melakukan interaksi, karena itu tidak menghasilkan ikatan apa pun.
Interaksi yang dimaksud, interaksi seperti apa? Yaitu interaksi untuk menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi setiap individu. Ingat, setiap individu pasti memiliki persoalan-persoalan tertentu, baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik/biologis, maupun yang berkaitan dengan pemenuhan naluri (baik naluri mengkultuskan sesuatu, naluri seksual, maupun naluri mempertahankan eksistensi diri). Karena setiap orang (individu) terdorong untuk menyelesaikan persoalan dirinya, maka setiap individu itu pun mulai berinteraksi dengan individu lainnya, untuk membuat kesepakatan tentang bagaimana penyelesaiannya. Kesepakatan-kesepakatan inilah yang nantinya akan berwujud pemikiran tertentu, perasaan tertentu, dan sistem aturan tertentu.
Karena itulah, sebuah perumahan Islami sebagaimana disebutkan di atas, tetap tidak bisa disebut sebagai masyarakat Islam. Sebab, tidak terjadi interaksi di dalam hubungan-hubungan atau interaksi di antara personalnya. Tetapi kalau pun terjadi interaksi, intraksinya pun tidak utuh. Karena sistem aturan Islam yang diterapkan paling banter hanya sistem aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah) dan sistem aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (pakaian, makanan-minuman, dan akhlak). Sementara, sistem aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalat dan uqubat), tidak diterapkan. Tapi kalau pun aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya diterapkan, itu hanya sebatas pada aspek individu saja. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan sejenisnya. Namun sistem uqubat atau sistem sanksi tidak akan diterapkan di perumahan Islami tersebut. Karena itulah, di dalam perumahan Islami tersebut tidak akan diterapkan sistem potong tangan kepada pelaku pencurian, atau rajam bagi pezina, dan tidak akan diterapkan sistem pengaturan hidup yang lainnya. Apalagi, ketua RT atau ketua perumahan Islam itu tidak memiliki kekuasaan politik apa pun. Maka, tidak bisa disebut sebagai masyarakat Islam.
Jadi, harus dibedakan antara jamaatul muslimin (jamaah kaum muslim) dengan jamaah minal muslimin (jamaah dari kalangan kaum muslim). Jamaatul muslimin inilah yang saya sebut sebagai masyarakat Islam. Sedangkan masyarakat (jamaatul muslimin) yang saya maksud di sini adalah al-ummah, sebagaimana dalam Surah Ali Imran ayat 110, yaitu khairu ummah. Bukan masyarakat dalam arti komunitas atau al-ummah dalam arti jamaah minal muslimin sebagaimana dalam Surah Ali Imran ayat 104. Kasus perumahan Islami, dari sisi dzatnya masuk dalam kategori jamaah minal muslimin, bukan jamaatul muslimin.
Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment